Mengaji Islam – Polemik jilbab menjadi hangat kembali karena ada berita pelarangan memakai jilbab bagi anggota paskibra di acara HUT Indonrsia ke 79 di IKN. Merdeka bukan hanya soal negara, tetapi setiap warga juga merdeka menjalankan agama masing-masing. Melalui artikel ini, kita akan membahas hukum jilbab dalam perspektif ulama dan mazhab.
Table of Contents
Hukum Jilbab dalam Perspektif Ulama Hanafi
Mazhab Hanafi, yang termasuk moderat dalam beberapa hal. Hukum jilbab dalam perspektif ulama Hanafi adalah wajib tapi wajah wanita bukanlah aurat. Namun menutup wajah menjadi wajib jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Dalam situasi di mana perempuan berada dalam lingkungan yang berpotensi menimbulkan godaan atau gangguan, menutup wajah dianggap sebagai tindakan pencegahan yang dianjurkan.
Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
Pendekatan ini menunjukkan keseimbangan antara kewajiban agama dan pertimbangan sosial. Mazhab Hanafi mengakui bahwa ada situasi di mana menjaga aurat lebih dari sekadar menutup bagian tubuh tertentu, tetapi juga mencakup upaya untuk mencegah fitnah dan menjaga kehormatan wanita.
Baca juga artikel tentang: Filosofi Jilbab dalam Islam dan Sejarahnya
Hukum Jilbab Menurut Imam Maliki
Imam Malik, pendiri mazhab Maliki, berpandangan jilbab bagi wanita wajib dan wajah wanita bukanlah aurat. Namun, seperti dalam mazhab Hanafi, beliau menekankan bahwa jika ada kekhawatiran fitnah, menutup wajah menjadi wajib. Pendekatan ini mencerminkan fleksibilitas hukum Islam yang mempertimbangkan konteks sosial dan keamanan perempuan. Dalam kondisi normal, seorang wanita tidak diwajibkan untuk menutup wajahnya, tetapi jika ada potensi gangguan atau fitnah, maka menutup wajah menjadi tindakan yang dianjurkan.
Sebagian ulama dalam mazhab Maliki bahkan berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangan, terutama jika ada kekhawatiran fitnah.
Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
Pandangan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kehormatan dan keamanan wanita dalam berbagai situasi.
Hukum Jilbab dalam Perspektif Imam Syafi’i
Mazhab Syafi’i, yang mayoritas Muslim di Indonesia menganutnya, memiliki pandangan yang ketat mengenai aurat wanita. Menurut Imam Syafi’i, seluruh tubuh wanita adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangan, ketika berada di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Oleh karena itu, dalam pandangan mazhab ini, berjilbab dan memakai cadar (niqab) di hadapan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah wajib.
Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
Pandangan ini bedasarkan pada prinsip bahwa menjaga kesucian dan kehormatan wanita adalah prioritas utama. Dengan menutup seluruh tubuh mulai jilbab menutup kepala, termasuk wajah, wanita Muslimah diharapkan terhindar dari fitnah dan gangguan. Ini bukan hanya soal penampilan fisik, tetapi juga simbol ketaatan kepada Allah SWT.
Hukum Jilbab dalam Perspektif Ulama Hambali
Mazhab Hambali, termasuk yang paling ketat dalam hal aurat wanita, berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangan. Dalam pandangan Imam Ahmad bin Hambal, tidak ada bagian dari tubuh wanita yang boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram, bahkan kuku sekalipun. Maka hukum jilbab dalam perspektif ulama Hambali adalah wajib.
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
Pandangan ini menekankan pentingnya menjaga kesucian dan kehormatan wanita Muslimah. Menurut ulama Hambali, menutup seluruh tubuh adalah bentuk perlindungan dari fitnah dan gangguan, serta tanda ketaatan kepada Allah SWT. Meskipun pandangan ini terlihat sangat ketat, namun bagi pengikut mazhab Hambali, ini adalah cara untuk mencapai ketakwaan yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Hukum jilbab dalam perspektif ulama mazhab memiliki perbedaan, namun semua sepakat bahwa menutup aurat adalah wajib bagi Muslimah. Perbedaan pendapat ini menunjukkan betapa fleksibel dan kaya-nya tradisi hukum Islam. Meskipun demikian, penting bagi setiap Muslimah untuk memahami konteks dan alasan di balik kewajiban ini. Serta menjadikannya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan cara untuk menjaga kehormatan diri.
Polemik mengenai jilbab yang sering muncul di masyarakat seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua. Pentingnya memahami hukum agama dengan baik dan menjalankannya dengan penuh kesadaran. Dalam situasi apapun, kewajiban untuk menutup aurat tidak boleh terabaikan. Karena ini adalah bagian dari identitas dan kehormatan seorang Muslimah.