Tambang dan Sawit Penyebab Kerusakan Hutan Sumatra – Akhir November 2025, pulau Sumatra kembali menjadi saksi duka: banjir bandang dan tanah longsor dahsyat melanda beberapa provinsi — termasuk Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat — dengan korban ratusan jiwa, ribuan rumah hancur, dan kerusakan infrastruktur masif.
Bencana ini sering disebut oleh sebagian pihak sebagai akibat “cuaca ekstrem” — dan memang curah hujan yang sangat tinggi serta sistem atmosfer berupa Siklon Tropis Senyar menjadi pemicu langsung.
Namun sejumlah pakar dan organisasi lingkungan menegaskan: bencana sebesar ini bukan semata fenomena alam acak — melainkan buah dari kerusakan ekologis yang telah berlangsung lama, terutama deforestasi dan alih fungsi hutan di daerah hulu.
Artikel ini mencoba mengurai akar penyebab — dari tambang, perkebunan sawit, kelemahan tata kelola — hingga bagaimana bencana tersebut bisa dicegah jika hutan dikelola dengan bijak.
Kerusakan Hutan Sumatra dan Alih Fungsi Lahan: Fakta di Balik Layar
Sumatra, khususnya di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), selama beberapa dekade terakhir mengalami hilangnya tutupan hutan secara masif — baik akibat izin pertambangan, pembukaan lahan untuk sawit, maupun pembalakan (ilegal ataupun legal).
Menurut laporan terkini, bencana di akhir November 2025 dipicu bukan hanya oleh hujan deras, melainkan oleh “degradasi ekosistem hulu” yang sudah parah — hutan yang seharusnya menyerap dan menahan air kini banyak yang hilang.
Dengan hilangnya fungsi alami hutan — seperti intersepsi (menahan hujan di kanopi), infiltrasi (penyerapan ke tanah), evapotranspirasi, dan stabilisasi tanah — air hujan cenderung langsung menjadi limpasan permukaan (runoff), memperbesar risiko banjir dan longsor.
Sebuah analisis memperlihatkan bahwa perubahan penggunaan lahan dan kerusakan hutan secara signifikan memperparah frekuensi dan intensitas banjir di Indonesia.
Suara Pakar dan Organisasi Lingkungan
- Hatma Suryatmojo — Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS di Universitas Gadjah Mada (UGM) — menegaskan bahwa bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra akhir November 2025 bukanlah fenomena tunggal, melainkan bagian dari pola yang telah berulang dalam dua dekade terakhir. Ia menyoroti bahwa kerusakan hutan di hulu DAS telah “menghilangkan daya tampung ekosistem” yang seharusnya meredam curah hujan tinggi. (Universitas Gadjah Mada)
- Heri Andreas — Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika di Institut Teknologi Bandung (ITB) — menyebut bahwa kerusakan hutan memperparah dampak banjir, terutama ketika tutupan vegetasi diganti dengan lahan perkebunan, termasuk sawit. (detikcom)
- Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) — melalui Direktur Eksekutif mereka, Muhammad Ichwan — menegaskan bahwa bencana ini merupakan “bencana ekologis” akibat deforestasi masif, alih fungsi hutan, dan lemahnya tata kelola izin kawasan. Ia menyebut industri ekstraktif, perkebunan besar, serta pembalakan liar sebagai penyebab kerusakan hulu DAS yang membuat bencana hidrometeorologi sulit dihindari. (NU Online)
Para pakar dan aktivis lingkungan ini secara tegas menunjukkan bahwa bencana bukan semata soal cuaca buruk — melainkan konsekuensi logis dari perusakan hutan dan pengelolaan lahan yang mengeksploitasi hulu tanpa mempertimbangkan fungsi ekologis.
Mengapa Tambang dan Sawit Menjadi “Pencabut Nafas” Hutan Hulu
Tambang — banyak izin tambang mineral dan batu bara beroperasi di kawasan pegunungan dan hulu sungai, yang secara ekologis sangat rentan. Ketika vegetasi pohon dan akar penahan tanah hilang, lereng menjadi mudah longsor dan tanah kehilangan daya serap air.
Perkebunan sawit — konversi hutan menjadi perkebunan skala besar menggantikan keragaman vegetasi alami dengan monokultur sawit. Pohon sawit dan struktur tanah di areal tersebut tidak mampu menggantikan fungsi hidrologis hutan tropis alami — terutama dalam menahan hujan ekstrem dan menjaga resapan air.
Ini membuat daerah aliran sungai (DAS) kehilangan “spons alami” mereka — saat hujan ekstrem terjadi, air langsung bergegas turun ke sungai tanpa ada penahan, yang memicu banjir bandang, longsor, dan arus deras yang menghancurkan.
Selain itu, aktivitas ekstraktif dan konversi lahan sering disertai pembangunan jalan tambang, jalan akses kebun, dan pembukaan jalur — yang semuanya mengganggu struktur tanah, menyebabkan erosi, serta mempercepat aliran air.
Dampak Nyata Kerusakan Hutan Sumatra bagi Masyarakat
Akibat rangkaian kerusakan ekologis itu:
- Banyak desa di kawasan pegunungan dan pinggir sungai terendam atau tertimbun longsor.
- Infrastruktur vital — jalan, jembatan, jalinan listrik, rumah — rusak berat atau hilang.
- Korban jiwa: ratusan orang meninggal, ribuan mengungsi.
- Sistem logistik, distribusi bantuan, serta akses kesehatan & pendidikan lumpuh karena terputusnya jalur transportasi.
- Potensi trauma berkepanjangan, kehilangan mata pencaharian, dan ketidakpastian hidup bagi ribuan warga.
Kritikan terhadap Tata Kelola & Kebijakan: Izin Tambang & Sawit di DAS Kritis
Menurut analisis dari JPIK dan para peneliti, banyak izin pertambangan, perkebunan, dan proyek ekstraktif diberikan di kawasan sensitif — termasuk hulu DAS dan lereng pegunungan — tanpa memperhatikan fungsi ekologis.
Meskipun ada regulasi dan sertifikasi seperti SVLK atau sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), praktik destruktif tetap terjadi — kadang melalui izin legal, kadang lewat jalur ilegal.
Dengan kondisi ini, para pakar menyerukan moratorium izin baru untuk tambang dan perkebunan di zona rentan, audit izin lama, serta penegakan hukum terhadap perusahaan yang merusak hutan.
Solusi: Restorasi, Reformasi Kebijakan, dan Kesadaran Kolektif
Untuk mencegah bencana serupa di masa depan, langkah–langkah berikut menjadi sangat penting:
- Melakukan restorasi hutan hulu secara masif — menanam kembali hutan, memulihkan ekosistem DAS.
- Menetapkan moratorium izin baru terhadap tambang dan perkebunan sawit di wilayah kritis (hulu sungai, lereng, pegunungan).
- Mengaudit izin lama, mengevaluasi dampak ekologis, serta mencabut izin perusahaan yang terbukti merusak — termasuk sawit, tambang, pembalakan.
- Mendorong pengelolaan lahan berkelanjutan, dengan memperhitungkan daya dukung ekologis — bukan semata target ekonomi atau produksi.
- Memperkuat tata kelola lingkungan dan transparansi izin, serta memastikan partisipasi masyarakat lokal dan organisasi lingkungan dalam pengambilan keputusan.
- Membangun sistem peringatan dini dan mitigasi bencana di daerah rawan — bersamaan dengan konservasi ekologis.
Penutup: Banjir Bandang Ini Bukan Takdir — Tapi Ulah Kita
Banjir dan longsor massif di Sumatra akhir 2025 bukanlah “bencana alam” tanpa sebab. Ia adalah peringatan keras atas kerusakan ekologis yang berlangsung lama — atas keputusan manusia untuk mengeksploitasi hutan demi tambang dan sawit tanpa peduli daya dukung alam.
Setiap pohon yang ditebang, setiap izin konsesi yang diabaikan dampaknya, adalah langkah menuju bencana. Namun demikian — jika kita mengambil langkah bijak sekarang: melindungi hutan, menghentikan alih fungsi di wilayah sensitif, dan menegakkan regulasi — kita punya kesempatan untuk mengembalikan “sabuk pengaman ekologis” yang telah kita rusak.
Karena di balik setiap sungai yang meluap, di balik setiap lereng yang longsor — ada pilihan kita sebagai manusia, dan tanggung jawab kita terhadap generasi mendatang.











Tinggalkan komentar