Akhir 2025 menjadi periode paling kelam bagi masyarakat Sumatra. Bencana banjir dan longsor dahsyat melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat—membuat tiga provinsi itu berada dalam status darurat berkepanjangan. Bencana ini bukan hanya merusak rumah warga, tetapi juga memutus jalan, melumpuhkan suplai bahan bakar, menghambat distribusi bantuan, dan menelan banyak korban jiwa.
Menurut laporan 2025 Sumatra floods and landslides, jumlah korban tewas mencapai ratusan, ribuan mengalami luka, puluhan hilang, dan lebih dari 4 juta jiwa terdampak langsung. Ribuan orang terpaksa mengungsi karena rumah dan lahan mereka hancur.
Sumber: Wikipedia – 2025 Sumatra Floods and Landslides.
Situasi memburuk ketika berbagai daerah mulai kekurangan bahan bakar dan dana operasional penanganan bencana. Laporan Reuters (3 Desember 2025) menyebut beberapa wilayah “kehabisan bahan bakar dan kehabisan anggaran untuk operasi tanggap darurat”.
Sumber: Reuters – Flood-hit Indonesian regions run low on fuel, funds for relief effort.
Di tengah kekacauan itu, perhatian nasional dan internasional tertuju pada Sumatra dan Aceh. Kehadiran pejabat, lembaga kemanusiaan, dan relawan membanjiri pemberitaan. Namun pertanyaan besar muncul: apakah semua ini murni bantuan? Atau ada tanda-tanda bencana berubah menjadi ajang kampanye?
Baca juga artikel : Kerusakan Hutan Sumatra: Dampak Tambang dan Sawit
Ketika Bencana Sumatra & Aceh Berpotensi Jadi “Panggung Politik”
Bencana besar seperti yang terjadi di Sumatra dan Aceh membawa sorotan luas. Media hadir, pejabat datang, kamera menyala, dan publik menunggu kabar terkini. Dalam kondisi seperti ini, ruang bagi politisasi sangat terbuka.
Artikel opini “Membaca Bencana Sumatra melalui Ekologi Politik” menegaskan bahwa bencana tidak pernah benar-benar “alami”. Ia dipengaruhi keputusan politik jangka panjang: deforestasi, tata ruang, hingga pengawasan lingkungan. Karena itu, elite politik sering muncul sebagai aktor yang berkepentingan dalam narasi bencana. Sumber: Kumparan – Ekologi Politik Bencana Sumatra.
Di lapangan, tanda-tanda yang sering dikaitkan dengan “kampanye bencana” meliputi:
- Bantuan yang dikemas sangat visual: video, drone, live streaming, pose bersama korban.
- Narasi heroik pejabat, bukan fokus pada korban.
- Janji-janji pemulihan yang disampaikan seperti pidato kampanye, bukan rencana teknis.
- Branding berlebihan pada tenda, logistik, atau pakaian relawan yang terkait dengan kelompok politik tertentu.
Fenomena ini pernah disinggung dalam laporan Media Indonesia, yang mengkritik elite politik yang “menjadikan bencana sebagai tempat pencitraan”. Sumber: Media Indonesia – Elite Lukai Hati Korban Bencana Sumatra.
Ketika penderitaan publik berubah menjadi panggung, kepercayaan masyarakat bisa terkikis. Yang lebih berbahaya, bantuan berpotensi tidak merata, tergantung siapa yang “diliput”, bukan siapa yang paling membutuhkan.
Namun Tidak Semua Respons Pejabat adalah Kampanye
Adilnya, kita perlu mengakui bahwa tidak semua bantuan berarti kampanye. Ada beberapa alasan:
1. Pejabat memang wajib hadir
Dalam situasi darurat, kehadiran pemerintah adalah tugas konstitusional. Presiden, gubernur, bupati, dan lembaga nasional memang harus turun langsung ke lokasi bencana. Kehadiran mereka tidak selalu dimotivasi agenda politik.
2. Banyak bantuan datang dari lembaga nonpartisan
LSM, organisasi kemanusiaan, filantropi, komunitas lokal, dan relawan independen bekerja tanpa tujuan pencitraan. Mereka bergerak karena kemanusiaan.
3. Kritik dari masyarakat sipil justru mendorong transparansi
Koalisi masyarakat sipil Aceh, misalnya, mendesak status bencana nasional bukan karena agenda politik, tetapi karena keterbatasan logistik dan meluasnya dampak.
Artinya, dinamika yang muncul tidak otomatis indikator kampanye. Konteks, motivasi, dan pola komunikasi sangat menentukan.
Tanda-Tanda Politisasi yang Patut Diwaspadai
Agar masyarakat tidak terkecoh, berikut indikator bahwa suatu aksi mungkin mengarah pada “kampanye bencana”:
- Dokumentasi berlebihan: Jika bantuan lebih banyak ditujukan untuk kamera, bukan korban, publik perlu kritis.
- Fokus pada tokoh, bukan solusi: Narasi seperti “berkat saya bantuan datang”, “saya sudah melakukan X” adalah tanda framing politis.
- Janji bombastis tanpa rencana teknis: Membuka kembali jalan, relokasi besar-besaran, pembangunan rumah dalam waktu singkat — semua butuh analisis teknis, bukan sekadar retorika.
- Menghadirkan simbol politik: Atribut partai, seragam khusus, hingga branding tokoh tertentu dapat menunjukkan intensi politik.
- Bantuan yang terkesan selektif: Jika distribusi lebih fokus pada daerah tertentu yang menguntungkan secara politik, ini perlu dipertanyakan.
Mengapa Pembahasan Ini Penting?
1. Agar bantuan tepat sasaran
Politisasi bencana bisa mengalihkan logistik ke tempat “yang menarik di kamera”, bukan tempat yang paling membutuhkan.
2. Untuk menjaga martabat korban
Korban bencana berhak mendapatkan bantuan tanpa dijadikan objek pencitraan.
3. Untuk memperbaiki kebijakan jangka panjang
Fokus pada kampanye bisa mengalihkan isu utama:
- kerusakan lingkungan,
- tata ruang bermasalah,
- lemahnya mitigasi,
- kurangnya anggaran adaptasi iklim.
4. Mendorong kontrol publik
Dinamika politik tidak bisa dipisahkan dari bencana, tetapi publik bisa menjaga agar narasi tetap berpihak pada korban.
Kesimpulan: Bencana Bukan Panggung Politik
Tragedi banjir dan longsor Sumatra–Aceh 2025 adalah ujian besar bagi bangsa. Di tengah penderitaan jutaan warga, muncul potensi politisasi — mulai dari pencitraan hingga kampanye terselubung.
Namun penting untuk diingat: tidak semua aksi pemerintah adalah kampanye, dan banyak pihak bekerja tulus membantu korban.
Yang diperlukan sekarang adalah:
- kewaspadaan publik,
- transparansi pemerintah,
- media yang kritis,
- fokus pada pemulihan korban, bukan pada penguatan citra pihak tertentu.
Bencana seharusnya menjadi pengingat untuk memperbaiki kebijakan lingkungan dan tata ruang, bukan kesempatan memperkuat popularitas politik.











Tinggalkan komentar